Friday, February 22, 2013
Saturday, February 2, 2013
..Yen (ndadak)kangen.....
grimis surup mongso rendheng
adhem hawane, kandhamu
isih katon tilas luh ing pasuryanmu
pancen aku ora duwe kacu
nggo ngusap eluhmu
apa maneh sacangkir teh
kang bisa ngangetke atimu…
nadyan ora ana ajine
ning aku tetep pengin ujar:
sesuk isih ana dina padhang
muga atimu uga bisa padhang
dene surup iki kang wus ancik-ancik wengi
dadi papan semendheyan
nyemelehke kang ngaboti pundhak
mendhung isih ngglayut
candhik ayu ora katon
apa maneh lintange panjer sore
angin sumribit ginawa adhem
dene aku tetep pengin ujar
aku, sawijine wong kang sengaja
uluk salam,
caos esem,
lan nakokke pawartamu…
*Miwiti Pebruari ,Malang
Labels:
Poem
Tuesday, January 29, 2013
ORA KUWI !!!!!
Tak gagas keliwat wates
sumingkire tresna kang sudra
kejarah nafsu ora kinira
pedot ing dalan sesambungan
sirna ginaris wewengkon
kodrat ora tinemu nalar
apa ya iki tresna..???
apa ya kuwi wiji sejati..???
ora gumun ati kelawan sujana
nalika tresna wis mblenjani
lungamu anyimpen wadi
werdiku tanpa kawedar
sapa kowe sapa aku
amung wadi sajroning kolbu
Labels:
Poem
PANGAREP AREP....
wektu wis lumaku luwih satus candra
aruming rikmamu
manis esemmu
netramu kang cinandra rina
solah bawamu kang tansah anglam-lami
lakuku ing padhang panguripan
wektu wis lumaku luwih satus candra
wewayangira tansah ngetut lakuku
nimas, puspitaning ati ..
muga Gusti paring kabagyan marang sliramu
kinanthi pandonga suci mreh rasa pangrasaku
lilakno wewayanganmu tansah ndak kekep
kanthi kebak asih, amarga mung wewayangmu
kang tansah ngancani aku napaki pangarep-arep
Labels:
Poem
Thursday, January 24, 2013
...(masih) pantaskah.....kami...Wahai Kekasih Rabb
Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.
Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah karena Ia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.
Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.
Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan. Kami menunduk pada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.
Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tidak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan. Acara peningkatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.
Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.
Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman. Kami semakin beriman, namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai. Namun kesadaran kami tidak.
Kami masih primitif dalam hal akhlak—substansi utama ajaranmu. Padahal kami tak usah belajar soal akhlak karena tidak menjadi naluri manusia; berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tak usah belajar namun akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan mengisap, hanya untuk beberapa lembar uang.
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, Ya Muhammad. Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding kepemalasan kami. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.
Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal engkau adalah strategi dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer.
Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama.
Padahal engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami. Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding keprajuritan dan keseradaduan kepribadian kami. Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan.
Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan. Padahal engkau adalah penyelamat kemanusiaan. Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami.
Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia, di hadapan kami. Padahal engkau adalah liberator budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa ,menyadari, dan tak pernah mengakui, bahwa kami adalah budak-budak.
Sementara kami adalah budak-budak—dalam sangat banyak konteks yang sudah berbincang tentang perbudakan, segera mencari kalimat-kalimat, retorika, dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak.
Di negara kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Ashor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yaysan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan, dan apa saja.
Yang kami tak punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu....
"(Masih pantas kah kami..?????)
Labels:
Another writing
Sunday, January 20, 2013
.......SUMELEH....
'Mring wengi...anglalar sepi
Sun alelagon....nitip mring angin
Angin kan tansah kekancan...
Nadyan atis....tan saya atis...
Iki aku.....
Kang tansah sinepi.....lelagon tangis
Rasa asih kan makantar-kantar
Nana tan pulih...sembulih
Dudu...dudu..wong bagus..
Dudu simpangan iki kang dak tangisi
Dudu mekaring katresnan kang dadi ati
Dudu....dudu...
Malang,20 Januari 2013(Niandut)
Sun alelagon....nitip mring angin
Angin kan tansah kekancan...
Nadyan atis....tan saya atis...
Iki aku.....
Kang tansah sinepi.....lelagon tangis
Rasa asih kan makantar-kantar
Nana tan pulih...sembulih
Sopo aku...sopo sira..wong bagus..
Mung tresna sih...setya tuhu
Mung ana tangis...pangangen-angen
Sopo aku....sopo sira
Sira ..kang mangulak-ulak dunungmu..
Kekancan esem..sinuka cita
Alelagon...joged...mesem pepaesing donya
Nanging ......sopo aku...
Aku...kang karang padesan dunungku
Tansah kekancan sepi....tangis raina wengi..
Lan tresna sih...setya tuhu..
Nana pulih..sembulih..
Dudu simpangan iki kang dak tangisi
Dudu mekaring katresnan kang dadi ati
Dudu....dudu...
Mung pitakon kang nana semaur
Mung rubedan kan tansah gegudo
Lan aku...rumangsa kalah..
Rumangsa salah...
Dak rasa dewe kuciwa....tangisku..
Geneya aku rumangsa wanci
Sumeleh marang kang kudu
Sumeleh....wus sumeleh
Iki aku ...
Kang tansah sinepi...lelagon tangis
Kekancan angin atis.....tan saya atis.....
Malang,20 Januari 2013(Niandut)
Labels:
Poem
Friday, January 18, 2013
YANG TAK PERNAH USAI
Bentangan laut
Bentangan langit
Milikmu dua cermin saling bersipandang
Lautmu muara alir air sungaiku
Langitmu sumber bara api tungkuku
Adalah laut
Adalah langit
Adalah cermin tempat berkaca
Kemana dan bagaimana aku melangkah
Sampai pula di dataran ini
Ingin kudengar sajakmu
Sampai pula di hati ini
Gelombang nafas cintamu
Terpelanting pula di ranjang ini
Raung dan pekik nafsumu pada tubuhku
Rubuh pula hati ini
Lantaran hasratku ingin mengadu kepadamu
Aku malu karena bentuk
Tapi aku masih inginkan seribu sajak dan puisi darimu
Selaksa pekik dan sejuta gelombang
Merayu menyatu dalam genangan
Akan hasrat yang bakal kulacak
Begitu kau pulang ke kotamu
Hatiku mulai ditikam sepi
Seperti padang ilalang ditingkah angin
Pepucuknya bergoyang
Seperti pantai kota ditinggal nelayan
Ombaknya terpelanting
Lengkap sudah kesepianku
Lantaran terpelanting pula rinduku
Pada hangat tubuhmu dan harum nafasmu
Telah kutikam seribu mentari
Telah kutikam seribu bulan
Tak ada yang tersisa
Hari ini mentari dan bulan jadi santap siang dan malamku
Selagi hati ini haus belaian kasih sayangmu
Rinduku merentang berkepanjangan
Dan tak tahu kapan usai
Barangkali sampai senjanya
Atau ketika terbit fajarnya
Barangkali….
Bentangan langit
Milikmu dua cermin saling bersipandang
Lautmu muara alir air sungaiku
Langitmu sumber bara api tungkuku
Adalah laut
Adalah langit
Adalah cermin tempat berkaca
Kemana dan bagaimana aku melangkah
Sampai pula di dataran ini
Ingin kudengar sajakmu
Sampai pula di hati ini
Gelombang nafas cintamu
Terpelanting pula di ranjang ini
Raung dan pekik nafsumu pada tubuhku
Rubuh pula hati ini
Lantaran hasratku ingin mengadu kepadamu
Aku malu karena bentuk
Tapi aku masih inginkan seribu sajak dan puisi darimu
Selaksa pekik dan sejuta gelombang
Merayu menyatu dalam genangan
Akan hasrat yang bakal kulacak
Begitu kau pulang ke kotamu
Hatiku mulai ditikam sepi
Seperti padang ilalang ditingkah angin
Pepucuknya bergoyang
Seperti pantai kota ditinggal nelayan
Ombaknya terpelanting
Lengkap sudah kesepianku
Lantaran terpelanting pula rinduku
Pada hangat tubuhmu dan harum nafasmu
Telah kutikam seribu mentari
Telah kutikam seribu bulan
Tak ada yang tersisa
Hari ini mentari dan bulan jadi santap siang dan malamku
Selagi hati ini haus belaian kasih sayangmu
Rinduku merentang berkepanjangan
Dan tak tahu kapan usai
Barangkali sampai senjanya
Atau ketika terbit fajarnya
Barangkali….
Labels:
Poem
Subscribe to:
Posts (Atom)





